Resume Buku; Dimensi Sosial Keagamaan dalam FIksi Indoneia Modern




resume buku dimensi sosial keagamaan dalam fiksi indonesia modern

Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Teori  Sastra  
Dosen Pengampu: Dr. Ali Imron Al-Ma’ruf, M. Hum

BAB I PENDAHULUAN
1.1         Perkembangan Baru Dunia Sastra Indonesia
Di antara tiga genre karya sastra yakni puisi, fiksi, dan drama, karya fiksi novellah yang paling dominan. Hal ini terbukti dengan banyaknya novel yang terbit dan beredar serta menjadi konsumsi masyarakat modern Indonesia yang menggemari sastra terutama sejak dekade 1970-an. Perkembangan itu tidak terlepas dari situasi Indonesia pasca-1965 terutama memasuki dekade 1970-an, sastrawan Indonesia seolah-olah memperoleh kebebeasan yang lebih luas. Karya satra merupakan dunia imajinatif yang merupakan hasil kreasi pengarang setelah merefleksi lingkungan sosial kehidupannya.
Novel merupakan pengolahan masalah-masalah sosial ke-masyarakatan oleh kaum terpelajar Indonesia sejak tahun 1920-an dan yang sangat digemari oleh sastrawan (Hardjana, 1989: 71). Itulah sebabnya mengapa novelis-novelis  kita sering mengupas masalah-masalah sosial yang sangat aktual dihadapi pengarang dan zamannya, termasuk masalah sosial keagamaan (Sumardjo, 1979 : vii).
1.2         Sastra sebagai Media Pengembangan Budaya Nasional
Karya sastra merupakan salah satu alternatif dalam rangka pembangunan kepribadian dan budaya masyarakat (character and cultural building) yang berkaitan erat dengan latar belakang struktural sebuah masyarakat (Kuntowijoyo, 1987:15).
Mengkaji karja sastra akan membantu menangkap makna yang terkandung di dalam pengalaman-pengalaman pengarang yang disampaikan melalui para tokoh imajinatifnya, dan memberikan cara-cara memahami segenap jenis kegiatan sosial kemasyarakatan, serta maksud yang terkandung di dalam kegiatan-kegiatan tersebut, baik kegiatan masyarakat kita sendiri maupun masyarakat lainnya. Ketika kita membaca karya sastra baik hikayat, cerpen, novel, drama, maupun puisi, secara otomatis kita akan menerobos lingkungan ruang dan waktu yang ada di sekitar kita. Karya sastra mampu membuat pembaca memahami segenap perjuangan tokoh-tokohnya, menghayati kehidupan tokoh-tokohnya, turut gembira dengan kebahagiaan yang dicapainya, dan turut bersedih dengan kemalangan yang dialaminya.
1.3         Keluarga Permana sebagai Novel Fenomenal
Novel Keluarga Permana (selanjutnya disingkat KP) karya Ramadhan K.H. (selanjutnya disebut Ramadhan) merupakan salah satu novel yang fenomenal sekaligus kontroversial. Kontroversial karena novel ini lahir pada saat masyarakat Indonesia yang pluralistik dan multiagama sedang diramaikan oleh berbagai masalah keagamaan dan kerukunan antarumat beragama.
KP memenuhi kriteria sebagai sastra Indonesia mutakhir seperti dikemukakan Darma (1990: 133-140) yakni menyangkut filsafat eksistensialisme (allienisme dan absurdisme), kerinduan arkitipal (menggali akar tradisi subkebudayaan nasional, termasuk kerinduan pada kedaerahan, keagamaan, dan sufisme), dan sofistikasi (pemikiran filosofis/mendasar). KP memenuhi kriteria sastra sebagai potret indah yang menggambarkan masyarakat, bahkan analisis kehidupan sosial dengan segala perubahan masyarakat (Kuntowijoyo, 1991: 145).
Masalah sosial keagamaan khususnya perikehidupan antarumat beragama merupakan masalah yang penting untuk dikaji dan diperhatikan oleh berbagai pihak, tidak saja pemerintah tetapi juga umat ber-agama. Membicarakan masalah agama, orang selalu terlihat, berpihak dan tidak mungkin sepenuhnya rasional dan objektif.
1.4         Permasalahan
Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana wujud bangunan struktur novel Keluarga Permana karya Ramadhan K.H.? (2) Bagaimana makna dimensi sosial keagamaan dalam novel Keluarga Permana karya Ramadhan K.H.?
 Perlu dikemukakan bahwa keberhasilan sebuah karya sastra tidak hanya bergantung pada relevansi tema atau persoalan yang dikemukakan, melainkan juga pada cara penyajian tema tersebut. Berkaitan dengan kerangka teoretis yang digunakan dalam penelitian ini, timbul masalah kekhasan hubungan antarumat beragama dan konflik yang ditimbulkannya yang diungkapkan oleh pengarang.
Berdasarkan uraian di atas, sesuai dengan pandangan Abrams (1979: 6-29) tentang pendekatan dalam analisis sastra, untuk mengongkretkan wujud dimensi sosial keagamaan dalam KP itu timbul permasalahan yang dihadapi, yakni : (1) pemahaman dimensi sosial keagamaan sebagai salah satu unsur dalam struktur karya, (2) hubungan dimensi sosial keagamaan dengan pengarang, (3) hubungan dimensi sosial keagamaan dengan pembaca, dan (4) hubungan dimensi sosial keagamaan dengan kesemestaan (univers).
1.5         Tujuan dan Manfaat Kajian
Tujuan penelitian ini adalah : (1) Mendeskripsikan wujud bangunan struktur novel Keluarga Permana karya Ramadhan K.H.? (2) Mengungapkan hubungan antarumat beragama hubungan antarumat beragama sebagai gejala sosial dan konflik sosial keagamaan yang ditimbulkannya dalam Keluarga Permana, (3) Memaparkan Keluarga Permana dalam memperbincangkan aspek kehidupan yang rawan dan peka itu. Manfaat teoretis, pertama yakni menerapkan teori sastra terhadap sastra Indonesia.
Manfaat praktis penelitian ini ialah : (1) Memperluas wawasan pemikiran kepada pembaca mengenai berbagai fenomena sosial keagamaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralistik yang diperbincangkan dalam sastra Indonesia modern. (2) Memberikan dasar-dasar dan informasi bagi pembaca dalam upaya meningkatkan apresiasi sastra terhadap KP dan sastra Indonesia modern pada umumnya.


1.6         Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori
1.6.1   Tinjauan Pustaka
Adapun pustaka yang mengkaji dimensi sosial keagamaan dalam novel KP secara mendalam, sepanjang pengetahuan penulis belum banyak ditemukan. Sebuah skripsi karya Sujarwanto (1979) berjudul “Masalah Keagamaan dalam novel Keluarga Permana karya Ramadhan K.H.” mengkaji novel KP dari segi masalah keagamaannya. Dari forum  seminar sastra atau dalam situs internet juga tidak ditemukan tulisan yang membahas novel KP dari aspek sosial keagamaan.
1.6.2   Landasan Teori
Dalam telaah sastra modern, hakikat karya sastra yang paling mendasar adalah tindak komunikasi, sehingga aspek komunikasi memegang peran penting. Oleh karena itu faktor-faktor yang memainkan peran penting dalam komunikasi harus diberikan tempat selayaknya, yakni sastrawan sebagai pengirim pesan, dan pembaca sebagai penyambut pesan, serta struktur pesan itu sendiri (Teeuw, 1982: 18). KP yang menjadi objek penelitian ini merupakan karya sastra genre fiksi novel. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah makna dimensi sosial keagamaan dalam KP, yang diangkat dari tema yang merupakan salah satu unsur karya.
1.6.2.1  Novel Indonesia Mutakhir
Penggunaan istilah ‘novel Indonesia Mutakhir’ bukan periode atau angkatan 1970-an atau Angkatan 2000 dimaksudkan untuk menghindari polemik mengenai lahirnya angkatan sastra dalam dunia sastra Indonesia yang sering menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Setelah Angkatan ’66 sebenarnya  telah muncul gagasan lahirnya angkatan sastra baru. Mula-mula Dami N. Toda menyampaikan gagasan lahirnya Angkatan ’70 lewat makalahnya “Peta Perpuisian Indonesia dalam Sketsa” (1977), kemudian Sutardji C Bachri lewat tulisannya “Chairil Anwar, Angkatan ’70, dan Kredo Puisi Saya” (1984), Abdulhadi W.M. dengan tulisannya “Angkatan ’70 dalam Sastra Indonesia” (1984), dan Korri Layun Rampan dalam makalahnya “Angkatan ’80 dalam Sastra Indonesia” (1984).
Sastra bermuatan sejarah juga merupakan pengejawantahan dari arkitipai. Sejarah berdimensi nostalgia, sedangkan nostalgia dapat menjadi saudara kembar kerinduan arkitipal (Budi Darma dalam Aminuddin (Ed), 1990:138). St. Takdir Alisyahbana (STA) selalu memperjuangkan nilai-nilai tertentu yang sudah dirumuskan sendiri sebelumnya. Misalnya, sastra harus membawakan gagasan besar, harus merombak dan harus membawa modernisasi.
1.6.2.2  Novel : Struktur dan Unsur-unsurnya
Novel merupakan salah satu genre sastra di samping cerita pendek, puisi dan drama. Melalui novel, pengarang menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan setelah menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan prosa naratif yang bersifat imajinatif, biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.
Bagi Wellek & Warren (1989: 113-114), betapa pun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, bangunan strukturnya koheren, dan mempunyai tujuan estetik. Unsur-unsur pembangun novel itu secara konvensional (Wellek & Warren, 1989: 157-159), dapat dibagi menjadi dua yakni unsur intrinsik (intrinsic) dan ekstrinsik (extrinsic). Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung turut membangun karya sastra itu, yang secara faktual terdapat di dalam karya sastra. Unsur-unsur inilah yang membuat sebuah karya hadir sebagai karya sastra.
Adapun unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung turut mempengaruhi bangunan karya sastra  itu. Selanjutnya, Stanton (1965:11-36) membagi unsur-unsur yang membangun novel menjadi tiga, yakni fakta (facts), tema (theme), dan sarana sastra (literary device). Adapun sarana sastra adalah teknik yang digunakan pengarang untuk menyusun detil-detil cerita  berupa peristiwa dan kejadian-kejadian menjadi pola yang bermakna.
1.6.2.3  Teori Strukturalisme
Menurut Piaget (dalam Zaimar, 1991: 20), strukturalisme adalah : “Semua doktrin atau metode yang dengan suatu tahap abstraksi tertentu menganggap objek studinya bukan hanya sekedar sekumpulan unsur yang terpisah-pisah, melainkan suatu gabungan unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain, sehingga yang satu tergantung pada yang lain dan hanya dapat didefinisikan dalam dan oleh hubungan perpadanan dan pertentangan dengan unsur-unsur lainnya dalam suatu keseluruhan.
Teeuw (1984: 135-136) menandaskan, bahwa tujuan analisis struktural adalah membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterkaitan dan keterjalinan berbagai unsur yang secara bersama-sama membentuk makna. Uraian di atas memberikan beberapa kategori yang dikembangkan oleh strukturalisme. Pertama-tama kaum strukturalis memandang wujud sebagai suatu keseluruhan, sebagai sesuatu yang utuh, yang setelah dianalisis ditemukan sebab-sebab keutuhan itu.
Dengan demikian baik Teeuw maupun Goldman keduanya mengakui bahwa suatu wujud itu mempunyai struktur, tetapi merupakan struktur baru yang dalam pembentukannya tidak terpisahkan dari struktur-struktur yang ada sebelumnya. Konsep pemahaman itulah yang kemudian dikenal sebagai strukturalisme dinamik (Teeuw, 1978: 260).
1.6.2.4  Teori Semiotik
Culler (1981: 5) menegaskan bahwa ilmu sastra yang sejati harus bersifat semiotik, artinya menganggap sastra sebagai sistem tanda. Pendekatan semiotik yang dimaksudkan di sini berpijak pada pandangan bahwa karya sastra sebagai karya seni, merupakan suatu sistem tanda (sign) yang terjalin secara bulat dan utuh. Proses pengungkapan makna karya sastra di sini tentulah tidak berlangsung dengan mudah, sebab harus dilakukan dengan pembongkaran tanda (decoding) secara struktural.
Dalam semiotik, penalaran atau logika berperan penting. Karena itu Peirce mengusulkan semiotik bersinonim dengan logika, yang mempelajari bagaimana orang bernalar.  Dalam mengerjakan teori semiotiknya, Peirce memusatkan perhatian untuk mempelajari bagaimana berfungsinya tanda-tanda pada umumnya. Ia memberikan tempat yang penting pada tanda-tanda linguistik, namun bukanlah tempat yang utama. Semiotik dipandang sebagai ilmu tentang tanda atau ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti.
Ahli semiotik terkenal, Roland Barthes, dalam bukunya My-thologies (1957:193-195; lihat pula Hawkes, 1978: 131-133; Zaimar, 1991: 22-24), menjelaskan cara kerja semiotik. Dengan pengertian itu Barthes mengemukakan, bahwa mitos dapat berupa tulisan, reportase, film atau pertunjukan di samping dapat dikemukakan secara lisan. Berpijak pada pandangan itu, Barthes mengutarakan mitos sebagai sistem semiotik. Menurutnya, mitologi adalah suatu fragmen dari ilmu tentang tanda yang luas, yakni semiotik. Mengutip pendapat Saus-sure, Barthes menyatakan bahwa semiotik mengacu pada dua istilah kunci yakni signifiamt (penanda) dan signifie (petanda).
Jelasnya, ketika kita menghadapi dimensi sosial keagamaan sebagai tanda diubah menjadi penanda dalam kongkretisasi pembaca, maka sifatnya sebagai tanda tidaklah hilang, melainkan tetap berfungsi sebagai alat asosiasi mimetik, yang bertegangan dengan kreasi (creatio).
1.6.2.5  Teori Interteks
Teori Interteks memandang setiap teks sastra perlu dibaca dengan latar belakang teks-teks lain, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaan sastra tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai acuan. Kristeva (1980: 36) menyatakan, bahwa intertekstual adalah masuknya teks lain ke dalam suatu teks, saling menyilang dan menetralisasi satu dengan lainnya (bdk. Hawkes, 1978: 144; Culler, 1981: 106; Junus, 1985: 87). Karya sastra merupakan aktualisasi dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya, dan merupakan pelaksanaan pola harapan pada pembaca yang ditimbulkan dan ditentukan oleh sistem kode dan konvensi itu (Teeuw, 1980: 11).
Laurent Jenny yang menganalogikan intertekstualitas dengan linguistik menyatakan, bahwa intertekstualitas menandai segala yang memungkinkan seseorang untuk mengenali pola dan makna dalam teks. Pendekatan interteks secara kongkret dilakukan dengan baik oleh Riffaterre (1978: 11-23) terhadap puisi Perancis. Riffaterre sampai pada suatu kesimpulan, bahwa puisi Perancis akan dapat dipahami dengan baik jika kita membaca latar belakang puisi-puisi sebelumnya.
Teeuw (1983: 65) menyatakan, bahwa hipogram itu barangkali mirip dengan bahasa Jawa latar. Karya yang diciptakan berdasarkan hipogram itu disebut sebagai karya transformasinya karena mentransformasikan hipogram itu. Di sinilah tampak titik temu pandangan Teeuw dengan Barthes, bahwa teks dibangun atas kutipan-kutipan yang anonim, namun sudah dibaca.  Hubungan intertekstualitas, mungkin merujuk pada teks bahasa atau teks bukan bahasa. Prinsip intertekstualitas membawa kita untuk memandang teks-teks terdahulu sebagai sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan efek signification, pemaknaan yang bermacam-macam.
1.6.2.6  Kode Bahasa, Sastra, dan Budaya
Sastra dan bahasa keduanya merupakan sistem tanda, tetapi terdapat perbedaan. Menurut Teeuw (1984: 96) bahasa sebelum digunakan oleh pengarang sudah merupakan sistem tanda, sistem semiotik. Setiap tanda dalam unsur bahasa itu mempunyai arti tertentu yang secara konvensional disetujui, diterima, dan mengikat masyarakat; tidak hanya dalam arti bahwa tanda itu merupakan berian, tetapi yang lebih penting lagi, di dalam sistem tanda itu tersedia perlengkapan konseptual yang sukar dihindari.
Konvensi itu sifatnya berbeda-beda, ada yang umum; tetapi ada yang sangat khusus dan spesifik, dan yang terbatas pda jenis atau golongan karya sastra tertentu (Teeuw, 1984: 103). Kode sastra tak dapat dilepaskan dari kode budaya. Kadang-kadang keduanya tidak mudah dipisahkan, tetapi pada prinsipnya keduanya harus dibedakan. Pembaca yang tidak mengetahui latar belakang atau kode budaya novel KP karya Ramadhan akan kesulitan menangkap makna, meskipun kata-katanya sudah dipahaminya. Dengan cara demikian pengungkapan makna KP akan dapat lebih kaya dan berbobot.
1.7         Metode Penelitian
Kajian dimensi sosial keagamaan novel Keluarga Permana karya Ramadhan K.H. ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif bertujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan penuh nuansa untuk menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal, keadaan, fenomena dan tidak terbatas pada pengumpulan data melainkan meliputi analisis dan interpretasi data tersebut (Sutopo, 2006: 127).
Data penelitian ini adalah data kualitatif yakni data lunak (soft data) berupa kata, frasa, kalimat, dan wacana dalam novel Keluarga Permana. Adapun sumber data penelitian ini adalah pustaka yang terdiri atas sumber data primer dan sekunder. Sumber data primernya adalah novel Keluarga Permana karya Ramadhan K.H..

BAB II PENGARANG, LATAR SOSIAL BUDAYA, DAN KARYANYA
2.1         Ramadhan K.H. Sastrawan, dan Kesadaran Sosial
Sastra yang besar selalu merupakan suatu tindakan historis (historical action), karena mengekspresikan suatu imaji yang global mengenai manusia dan alam semesta (Goldman, 1981: 41). Dengan demikian, sastrawan sebagai individu harus diletakkan sebagai bagian dari kelompok sosial tertentu yang merupakan elemen yang paling fondamental dalam struktur masyarakat secara keseluruhan. KP dapat dikatakan sebagai karya sastra yang mengandung permasalahan keagamaan yang problematis, yang tidak saja dapat berbicara dan dipahami oleh pembaca yang seagama dengan pengarangnya, tetapi juga pembaca di luar agama pengarang.
Ditinjau dari hubungan karya sastra sebagai produk sastrawan dengan masyarakat sebagai lembaga sosial tempat sastrawan mengamati realitas kehidupan, terlihat bahwa karya-karya Ramadhan erat berkaitan dengan dunia kenyataan. Dalam pandangan Sumardjo (1979:12), sastra berada di tengah kehidupan masyarakat karena dibentuk oleh anggota-anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional dan rasional masyarakat yang melahirkannya.
Damono (1979: 13) berpandangan, bahwa sastra karya pengarang besar sering melukiskan kecemasan, harapan dan aspirasi manusia. Jelaslah, untuk dapat mengungkapkan makna karya sastra secara utuh, maka diperlukan bantuan disiplin ilmu lain di luar sastra, dalam hal ini adalah sosiologi. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa pengarang, sastra, dan masyarakat mempunyai hubungan yang erat, karena pengarang adalah anggota masyarakat dan sastra sendiri adalah lembaga sosial. Jadi dari sisi ini, KP merupakan ungkapan kesedihan, kekecewaan, keprihatinan, ketidaksetujuan, dan lain-lain sekaligus tanggapan dan kritik pengarang terhadap masyarakat lingkungannya dalam bentuk karya sastra.
2.2         Latar Sosial Budaya Ramadhan K.H.
Corak keagamaan masyarakat Sunda juga didukung oleh realitas banyaknya pondok pesantren dan pusat-pusat aktivitas Islam yang bertebaran di berbagai tempat. Di berbagai pesantren Sunda praktik tasawuf dilaksanakan oleh Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah yang dipelopori oleh Pesantren Suryalaya Tasikmalaya pimpinan K.H. Sahibulwafa Tadjul Arifin, yang populer dengan Abah Anom. Doa itu mengandung maksud, bahwa hubungan manusia dengan Tuhan (makhluk dan Khalik) itu dekat, tidak ada penghalang, dan manusia harus selalu berusaha mencari keridhaan-Nya dengan mengamalkan ajaran-Nya.

BAB III STRUKTUR BANGUNAN NOVEL
KELUARGA PERMANA
Disadari bahwa dimensi sosial keagamaam di dalam KP merupakan bagian dari struktur yang mempunyai fungsi dalam pembentukan cerita. Seperti dikemukakan dalam landasan teori, bahwa dalam analisis struktur digunakan teori struktural dinamik Lucien Goldman. Hawkes (1978: 18) menyatakan, bahwa tiap-tiap unsur cerita, termasuk dalam hal ini dimensi sosial keagamaan dalam KP, tidak dapat bermakna sendiri atau berdiri sendiri di dalam cerita. Berdasarkan data yang diperoleh, dimensi sosial keagamaan dalam KP berkaitan dengan struktur karya. Oleh karena itu,  berikut akan dianalisis struktur KP dalam hal ini struktur naratif, penokohan, dan latar.
3.1         Struktur Naratif
Sebagai sebuah karya sastra, novel merupakan satu sistem berstruktur. Di dalam struktur naratif terdapat dua hal yakni cerita (story atau content) dan wacana (discourse atau expression). Struktur naratif merupakan penanda (signifie) dari peristiwa, penokohan dan latar yang terdapat di dalam cerita dan petanda (signifiant) dari unsur-unsur di dalam ekspresi naratif yang terdapat di dalam wacana. Langkah pertama untuk itu adalah menentukan satuan-satuan cerita dan fungsinya.
Analisis struktur naratif berusaha mengemukakan kembali teks KP dengan menampilkan urutan sekuen. Rangkaian semantis dalam teks dapat dibagi dalam beberapa sekuen. (1)Sekuen haruslah terpusat pada satu titik perhatian (atau fokalisasi), yang diamati merupakan objek yang tunggal dan yang sama: peristiwa yang sama, tokoh yang sama, gagasan yang sama, bidang pemikiran yang sama. (2)Sekuen harus mengurung suatu kurun waktu dan ruang yang koheren: sesuatu terjadi pada suatu tempat atau waktu tertentu.

3.1.1   Urutan Tekstual
Sebagai langkah awal dalam analisis struktur naratif, akan dianalisis urutan tekstual satuan cerita. Hal ini dilakukan mengingat bahwa dalam karya sastra informasi yang sama akan berubah artinya, jika urutan dalam ujaran berubah. Oleh karena itu, dalam bagian ini KP cetakan II 1986 (dipilih karena cetakan II hampir sama dengan cetakan I, hanya saja terdapat perbaikan pada bagian yang salah cetak) akan dipilah-pilah guna memperoleh urutan satuan cerita. Urutan wacana merupakan urutan sekuen-sekuen yang memperlihatkan fakta-fakta dalam teks. Urutan seperti yang ada dalam teks. Urutan wacana ini bermakna bagi teks, sebab jika urutan faktual dalam teks ini diubah, maka maknanya juga akan berubah.
I.                            Meninggalnya Ida.
II.                         Persiapan upacara pemakaman jenasah Ida.
III.                      Permana dan Saleha mengenang kehidupan Ida ketika remaja.
IV.                      Kehidupan remaja Ida yang menderita akibat kekejaman Permana.
V.                         Permana sering bertindak kejam kepada istri dan anaknya.
VI.                      Permana kecewa dan menyesali nasibnya yang sial.
VII.                   Sumarto menumpang (indekos) di rumah Permana.
VIII.                Sumarto menjalin cinta dengan Ida.
IX.                      Ida mulai jatuh cinta kepada Sumarto.
X.                         Sumarto dan Ida mulai berani berhubungan cukup jauh.
XI.                      Permana curiga atas hubungan intim Sumarto dengan Ida.
XII.                   Permana mengusir Sumarto (dengan halus) dari rumahnya.
XIII.                Ida hamil hasil hubungannya dengan Sumarto.
XIV.                Permana dan Saleha sedih mengetahui Ida hamil pranikah.
XV.                   Permana dan Saleha sepakat untuk menggugurkan kandungan Ida.
XVI.                Kandungan Ida gugur akibat minum cairan dari dukun.
XVII.             Ida mengalami komplikasi sehingga kandungannya dioperasi.
XVIII.          Sumarto menyesal Ida hamil akibat perbuatannya.
XIX.                Pastor Murdiono menyarankan Sumarto segera mengawini Ida.
XX.                   Sumarto mencari tahu keadaan Ida.
XXI.                Sumarto mengancam Perbuatan Permana lewat surat kaleng.
XXII.             Ida sangat lemah fisik dan psikis setelah dioperasi.
XXIII.          Permana merasa lega setelah Ida keluar dari rumah sakit.
XXIV.          Sumarto menemui Ida dan berniat untuk mengawininya.
XXV.             Ida ingin segera kawin dengan Sumarto.
XXVI.          Permana dengan berat hati menyetujui perkawinan mereka.
XXVII.       Ida dibaptis menjadi Katolik sebagai syarat perkawinannya.
XXVIII.    Perkawinan Ida-Sumarto (Katolik) menimbulkan konflik.
XXIX.          Mang Ibrahim marah dan kecewa melihat perkawinan itu.
XXX.             Ida dan Sumarto meninggalkan rumah Permana ke Jatiwangi.
XXXI.          Upacara pemakaman jenazah Ida secara Katolik.
XXXII.       Saifuddin berusaha menenangkan Saleha mengenai nasib Ida.
XXXIII.    Permana stress berat dan akhirnya terganggu jiwanya, gila.

3.1.2. Urutan Kronologis
1.             Ida remaja sering mendapat perlakuan kejam Permana (S-IV)
2.             Permana sering bertindak kejam terhadap Saleha dan Ida (S-V)
3.             Permana menyesali nasibnya yang sial (S-V)
4.             Sumarto menumpang (indekos) di rumah Permana (S-VII)
5.             Sumarto menebarkan benih cinta kepada Ida (S-VIII)
6.             Ida mulai jatuh cinta kepada Sumarto (S-IX)
7.             Sumarto mulai menggauli Ida (S-X)
8.             Permana curiga atas keintiman Sumarto dengan Ida (S-XI)
9.             Permana mengusir Sumarto (dengan halus) dari rumahnya (S-XII)
10.         Ida hamil buah hubungannya dengan Sumarto (S-XIII)
11.         Saleha dan Permana sedih mengetahui Ida hamil (S-XIV)
12.         Permana dan Saleha sepakat menggugurkan kandungan Ida (S-XV)
13.         Kandungan Ida gugur oleh ramuan dukun (S-XVI)
14.         Ida dioperasi kandungannya di rumah sakit (S-XVII)
15.         Sumarto menyesali perbuatannya menghamili Ida (S-XVIII)
16.         Pastor Murdiono menyarankan Sumarto untuk mengawini Ida (S-XIX)
17.         Sumarto mencari tahu keadaan Ida (S-XX)
18.         Sumarto mengancam Permana dengan surat kaleng (S-XXI)
19.         Kondisi Ida sangat lemah setelah dioperasi (S-XXII)
20.         Permana merasa lega setelah Ida keluar dari rumah sakit (S-XXIII)
21.         Sumarto menemui Ida dan akan mengawininya (S-XXIV)
22.         Ida ingin segera kawin dengan Sumarto (S-XXV)
23.         Permana dengan berat menyetujui Ida kawin dengan Sumarto (S-XXVI)
24.         Ida dibaptis menjadi Katolik dengan perasaan terpaksa (S-XXVII)
25.         Perkawinan Ida dengan Sumarto secara Katolik menimbulkan konflik (S-XXVIII)
26.         Mang Ibrahim marah merasa kehilangan cucunya yang kini menjadi Katolik (XXVIX)
27.         Ida dan Sumarto meninggalkan rumah Permana menuju Jatiwangi (S-XXX)
28.         Ida meninggal dunia (S-I)
29.         Persiapan pemakaman jenazah Ida (S-II)
30.         Permana terkenang akan kehidupan masa lalu Ida (S-III)
31.         Pemakaman jenazah Ida secara Katolik (S-XXXI)
32.         Saifuddin berusaha menenangkan Saleha mengenai nasib Ida di akhirat (S-XXXII)
33.         Permana mengalami stress berat dan terganggu jiwanya (S-XXXIII)

3.2         Penokohan
1.        Farida (Ida)
Pertama adalah tokoh utama Farida atau Ida. Ida disebut tokoh utama bukan semata-mata Ida adalah anak keluarga Permana yang menjadi judul novel ini, melainkan karena fungsi sentralnya dalam keseluruhan struktur KP. Secara fisiologis, Ida dilukiskan sebagai mojang Priangan yang mempunyai kondisi fisikk yang menarik dan mempesona.
2.        Sumarto
Segi sosial Sumarto dilukiskan. Sikap tegas Sumarto dalam masalah agama ini berperan untuk mengukuhkannya sebagai pihak yang menang dalam hal perpindahan agama itu. Penggambaran fisik Sumarto demikian menunjukkan bahwa sebenarnya Sumarto dari segi fisik bukanlah pemuda yang istimewa, bahkan biasa saja.
3.        Permana
Di balik karakternya yang keras dan kejam itu sebenarnya tersembunyi kasih sayang, rasa tanggung jawab yang besar terhadap anaknya, bahkan sikap bijaksana. Uniknya, selain keras, Permana juga orang yang realistis dan dapat juga bersikap sabar. Ketika Ida hamil, Permana yang biasanya keras dan kejam ternyata dapat menahan diri meski hatinya sangat marah.  
4.        Saleha (Eha)
Deskripsi lingkungan sosial Eha juga dilukiskan. Meski terbatas, lukisan lingkungan sosial Eha berperan dalam menggerakkan cerita. Sebagai istri, Eha yang bekerja untuk menggantikan posisi Permana dalam mencari nafkah berfungsi penting dalam menyulut konflik.
5.        Mang Ibrahim
Brahim berpikiran radikal bukan tidak beralasan. Sikapnya dilandasi oleh alasan yang mendasar. Ketidaksetujuannya terhadap pemaksaan Ida dibaptis sebagai syarat perkawinannya dengan Sumarto, misalnya. Sikap radikalnya juga tampak ketika ia menghadiri upacara pemakaman jenazah Ida. Ibrahim tidak mau mengantar jenazah cucunya yang sudah dibaptis ke kuburan Pandu (Kristen).


6.        Saifuddin
Tokoh ini berperan menjadi lawan dialog Ibrahim dalam menyampaikan masalah sosial keagamaan. Tokoh yang pandangan Islamnya luas dan bijaksana ini dilukiskan sebagai orang yang dapat memahami kondisi yang berkembang dalam masyarakat majemuk. Kesalihan dan keluasan pengetahuan Islamnya dilukiskan juga melalui monolog dalam diri Saleha.
7.        Pastur Murdiono
Murdiono dilukiskan memiliki sikap ramah, lemah lembut dan pandai meneduhkan hati dan pikiran orang serta pandai menghibur orang yang dalam kesulitan. Secara fisik tokoh Murdiono juga tidak digambarkan, lebih-lebih usianya.
3.3         Latar
3.3.1   Unsur Ruang
            Unsur ruang dapat ditangkap pembaca melalui tiga cara, yakni : (1) pemakaian kata-kata yang mewujudkan sifat atau keadaan yang disebut, (2) kata-kata yang telah mempunyai pengertian tersendiri yang sudah baku, dan (3) pemakaian perbandingan. Pada umumnya sebuah novel menyiratkan atau menyuratkan suatu tempat. Secara keseluruhan cerita terjadi di wilayah Jawa Barat atau Pasundan, tepatnya di Bandung dan daerah sekitarnya termasuk Jatiwangi dan Ciateul.
3.3.2   Unsur Waktu
            Latar waktu masa kini dalam KP dimulai sejak awal cerita yakni ketika Ida meninggal dunia hingga jenazahnya dimakamkan dan Permana kehilangan kewarasannya. Pelukisan masa lalu dengan cara sorot balik dalam KP berperan untuk memberikan citraan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa kini. Selain itu masa lalu memberikan latar belakang atau hubungan kausalitas mengenai berbagai peristiwa yang dialami para tokoh.


3.3.3   Unsur Sosial
            Persoalan pokok KP adalah dimensi sosial keagamaan khususnya benturan sosial dalam kehidupan antarumat beragama. Transformasi sosial budaya dalam masyarakat kita yang sedang berlangsung dilukiskan dalam KP. Latar sosial banyak dilukiskan melalui Permana. Latar belakang kehidupan Permana yang pegawai kemudian diberhentikan tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku, membuat Permana frustasi. Dengan demikian latar ini digunakan untuk mendukung penokohan Permana, di samping untuk mencuatkan pokok persoalan khususnya dimensi sosialnya.

BAB IV DIMENSI SOSIAL KEAGAMAAN DALAM  NOVEL KELUARGA PERMANA

Data penelitian menunjukkan, bahwa permasalahan KP adalah dimensi sosial keagamaan. Dalam hal ini menyangkut perikehidupan antarumat beragama yakni perpindahan agama dan konflik-konflik sosial keagamaan yagn ditimbulkannya. Adapun ilmu yang mempelajari masyarakat disebut sosiologi, yakni ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi, gerakan masyarakat dengan politik, dan sebagainya (Sorokin dalam Soekanto, 1985: 20).
Sosiologi membahas struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Menurut Mangunwijaya (1982:11-12), agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian manusia kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir Kitab Suci, dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan.
Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa keagamaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan tata keimanan/keyakinan, tata peribadatan terhadap Tuhan, dan kaidah mengenai hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam. Adapun interaksi sosial yakni bentuk-bentuk yang tampak apabila perorangan atau kelompok-kelompok manusia itu mengadakan hubungan satu dengan lainnya dengan terutama mengetengahkan kelompok-kelompok dan lapisan-lapisan sosial sebagai unsur-unsur pokok dari struktur sosial.
4.1     Dimensi Sosial Keagamaan dalam Keluarga Permana
Dari data penelitian dapat diamati bahwa KP merupakan novel yang mengungkapkan realitas sosial, yang merupakan tanggapan pengarang terhadap lingkungannya. Masalah sosial keagamaan khususnya perpindahan agama merupakan permasalahan yang tampak dominan dalam KP dengan latar belakang sosial ekonomi, yang menimbulkan ketegangan dan konflik-konflik sosial yang melanda keluarga, kelompok masyarakat bahkan umat beragama tertentu.
4.1.1  Perpindahan Agama sebagai Sumber Konflik Sosial
Masalah perpindahan agama merupakan masalah besar dalam masyarakat Indonesia yang religius, kolektif dan komunal sifatnya (Ratuperwiranegara, dalam Departemen Agama, 1979: 16). Oleh karena itu, masalah itu selalu menarik dan tak habis-habisnya dibicarakan..
4.1.1.1  Perkawinan Campuran Islam-Katolik
4.1.1.2  Upacara Pembaptisan
4.1.1.3  Upacara Pemakaman Jenazah yang Meresahkan
4.1.2  Pengembangan Agama pada Umat Beragama
Dimensi sosial keagamaan yang bertalian erat dengan perpindahan agama adalah pengembangan agama pada umat beragama atau penyebaran agama dengan sasaran umat beragama. KP menyajikan masalah ini dengan berbagai konflik sosial yang timbul karenanya. Pengembangan agama pada umat beragama akan menimbulkan gejolak dan benturan-benturan sosial karena dapat menyinggung perasaan keagamaan masyarakat lingkungannya (Departemen Agama, 1983/1984: 37).Pengembangan agama tidak dibenarkan ditujukan kepada umat atau kalangan masyarakat yang sudah beragama, seperti diatur dalam Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama (Departemen Agama, 1979; 1983/1984).
4.1.3  Krisis Ketakwaan sebagai Sumber Masalah Sosial
Nilai yang tak kalah pentingnya dalam KP, adalah krisis ketakwaan sebagai sumber terjadinya masalah sosial dalam kehidupan masyarakat. Kurangnya penghayatan agama pada para tokoh, menimbulkan berbagai masalah sosial dalam proses dan interaksi sosial-nya.
4.1.3.1 Korupsi dan Memperkaya Diri
4.1.3.2  Penyalahgunaan Jabatan
4.1.3.3 Dekadensi Moral Remaja dan Kawin Paksa Versi Modern
4.1.4  Zina dan Aborsi : Fenomena Pelanggaran Etika Sosial dan Agama
Gagasan dalam KP juga terlihat dalam peristiwa perzinaan (hubungan seks pranikah) dan aborsi (pengguguran kandungan). Aborsi sering tidak terlepas dari perzinaan. Dalam KP aborsi dilakukan karena adanya hubungan pranikah, meskipun dalam realitas sosial aborsi sering juga dilakukan oleh wanita bersuami. Dewasa ini perbuatan zina tampaknya mulai dianggap sebagai hal yang biasa, bukan lagi perbuatan yang hina atau memalukan. Indikasi hal ini antara lain makin meluasnya hubungan pranikah dan para pezina umumnya seolah-olah tidak lagi merasa berdosa jika perbuatan zinanya itu tidak menimbulkan ekses.
4.1.5  Peran Agama dalam Rumah Tangga dan Perilaku Anak
Agama memiliki peran besar di dalam kehidupan rumah tangga dan membentuk perilaku anak. Seperti diketahui, bahwa unsur  terpenting yang menjadi pengendali dan penentram dalam kepribadian manusia adalah agama. Dalam KP, gagalnya pendidikan agama pada anak dalam keluarga disoroti dengan tajam lewat Permana dan Saleha (orang tua) dan Ida (anak). Agama, yang mestinya ditanamkan orang tua kepada anak sejak masih kecil guna membentuk kepribadian dan mental anak yang agamis, agar ketaqwaan dalam seluruh gerak hidupnya tercermin, tidak dilakukan oleh Permana dan Saleha.
4.1.6  Iman sebagai Pengendali Diri
Dimensi sosial keagamaan yang substansial sifatnya yakni iman dikomunikasikan pula dalam KP. Nilai ini berkaitan dengan ketegaran dan ketenangan seseorang dalam menghadapi berbagai problema kehidupan, karena hidup  manusia memang penuh cobaan yang datang dari Tuhan, baik cobaan yang menyenangkan maupun cobaan yang menyedihkan (QS. Al-Ambiya’: 35; QS. Al-Baqarah: 155; QS. At-Taghabun: 15). Hal ini disajikan antara lain melalui tokoh Permana. Setelah diberhentikan dari pekerjaannya kemudian mengganggur, Permana yang imannya jauh dari mendalam itu tidak dapat mengendalikan dirinya sehingga dia goncang dan hidupnya terombang-ambing oleh badai kehidupan yang datang bertubi-tubi. Akibatnya, anak dan istrinya menjadi korban.
4.1.7  Agama sebagai Pedoman Meraih Kebahagiaan
Nilai lain dalam KP yang menarik adalah pentingnya agama dalam kehidupan manusia. Berbagai peristiwa yang terjadi dalam KP yang dialami oleh para tokoh berkaitan dengan peran agama sebagai pegangan manusia dalam menempuh kehidupannya. Taqwa, di dalam Islam dikenal sebagai landasan utama segala tingkah laku manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Merujuk pada QS. Al-Baqarah: 177 di atas maka dapat dikatakan, bahwa esensi ajaran Islam adalah taqwa.
4.2  Realitas Sosial Budaya Indonesia 1970-an dan Keluarga Permana
Bertolak pada pemikiran itu, KP sebagai produk masyarakat mencerminkan situasi dan cita-cita masyarakat pada suatu zaman. KP lahir dari tangan Ramadhan sebagai anggota masyarakat atas desakan-desakan emosional dan rasional masyarakat yang melahirkannya. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka menegakkan kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia tidak selalu berlangsung mulus. Setelah berhasil merebut kemerdekaan dari tangan penjajah dan memproklamasikan diri sebagai negara  merdeka pada tahun 1945, perjalanan bangsa Indonesia dari segi politik ternyata mengalami berbagai tantangan, baik dalam skala besar maupun kecil.
Kritik dan sorotan dari pengamat yang umumnya adalah ilmuwan dan pakar tersebut tidak semuanya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Hal ini karena, pemerintah di bawah Presiden mandataris MPR melaksanakan pembangunan berdasarkan GBHN yang diamanatkan oleh rakyat Indonesia melalui wakil-wakilnya di DPR-MPR. Salah satu hal yang konkret sebagai efek modernisasi industrialisasi adalah timbulnya korupsi. Korupsi hadir bagai anak kandung modernisasi, ketika suatu bangsa sedang memacu diri melepaskan alam tradisional memasuki mekanisme kehidupan modern.
Dengan demikian ketidaktegaran dan ketidakdewasaan Permana tidak dipandang sebagai kesalahan Permana saja, tetapi sebagai kesalahan dan kelemahan sistem birokrasi dalam menangani masalah korupsi. Dal hal ini Permana sebagai korban kesalahan atau kelemahan sistem birokrasi dalam menangani masalah korupsi. Dalam hal ini Permana sebagai korban kesalahan atau kelemahan sistem birokrasi itu, yang kemudian menyebabkan rumah tangganya berantakan. Pengangguran dan disharmoni rumah tangga itulah yang memungkinkan terjadinya berbagai peristiwa yang mengantarkan atau mengangkat pokok persoalan. Berdasarkan analisis makna dimensi sosial keagamaan dalam KP yang dipaparkan di atas, tampaklah bahwa aspek sosial muncul dalam berbagai peristiwa dan tersebar dalam jalinan cerita, terkait dengan penghayatan keagamaan para tokohnya.
.
BAB V SIMPULAN
Dari analisis struktur bangunan novel Keluarga Permana dengan pendekatan Strukturalisme dapat disimpulkan bahwa novel Keluarga Permana memiliki unsur-unsur yang secara fungsional saling mendukung satu dengan lainnya. Dari analisis makna dengan pendekatan Semiotik dan Interteks dapat disimpulkan bahwa novel Keluarga Permana mengungkapkan dimensi sosial keagamaan sebagai gagasan utama dalam alur cerita yang kompleks namun tetap lancar.
Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia dalam meraih kebahagiaan, merupakan gagasan kedua dalam KP. Hanya dengan takwa, yang merupakan inti ajaran agama, yang hakikatnya berupa iman dan amal shalih, manusia akan dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin. Gagasan ketiga yang juga lebih berperan sebagai latar adalah krisis ketakwaan sebagai sumber terjadinya masalah sosial.